MASIH ingat Oeroeg? Film Belanda yang disutradarai oleh Hans Hylkema dan dibuat pada 1993 begitu melekat di pikiran saya hingga kini. Selain alur ceritanya yang sederhana, Oeroeg juga menampilkan bagaimana para insan film “walanda” itu secara ciamik dan teliti menampilkan detail-detail masa lalu nyaris sempurna. Mulai penampilan orang-orang era kolonial hingga seragam militer Belanda dan Indonesia di era Perang Kemerdekaan.
Kisah para perempuan Belanda dan Indo yang ikut andil dalam perang di wilayah Hindia, sesungguhnya bukan isapan jempol belaka. Dalam Het Vrouwwenkorps-KNIL (2004), S. Kruyswijk-Van Thiel mengisahkan bagaimana peran mereka begitu signifkan bagi militer Belanda di Indonesia, terutama di bagian administrasi, sektor medis dan kesehatan. ” Awalnya mereka direkrut dari para pengungsi Belanda di Australia,” tulis Kruyswijk.
VK KNIL (Vrouwenkorps KNIL) alias Korps Perempuan Tentara Kerajaan Hindia Belanda sendiri dikukuhkan sebagaian bagian dari korps perempuan KNIL menyusul keputusan Menteri urusan Negeri Jajahan tertanggal 1-5 Maret 1944 . Secara struktural posisi kesatuan ini ada di bawah bimbingan dan pengawasan Kepala Departemen urusan Perang Kerajaan Belanda.
Pada awal pembentukannya, korps yang dipimpin oleh Letnan 1 JM Meerburg ini, selain diisi oleh perempuan-identiteitsbewijs_2perempuan Belanda yang menjadi pengungsi politik di Australia, juga mengambil para perempuan Belanda yang tinggal di Amerika Serikat, Inggris dan Hindia Barat sebagai anggotanya. ” Pasca Perang Dunia ke-2 mereka diterjunkan ke Indonesia guna menjadi tenaga sukarela dan ditempatkan pada badan-badan pertolongan pertama para korban pendudukan Jepang,” jelas Kruyswijk.
Tidak semua kota-kota di Indonesia bisa didatangi oleh VK KNIL. Mengingat jumlahnya yang hanya ratusan, mereka hanya disebar di bebeberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan daerah-daerah sekitar kota-kota tersebut.
Keberadaan VK KNIL akhirnya harus berakhir seiring kembalinya kedaulatan Indonesia pada Desember 1949. Ketika KNIL dibubarkan pada 26 Juli 1950, otomatis “para Rita” ini harus kembali juga ke negeri asalnya.(hendijo)