Rezim Khmer Merah menorehkan luka yang besar bagi masyarakat Kamboja. Dalam periode tahun 1975-1979, lebih dari 1 juta jiwa atau lebih dari 20 persen dari populasi Kamboja pada masa itu menjadi korban genosida dari rekayasa sosial yang dipimpin oleh Pol Pot. Melalui Democratic Kampuchea yang diusung selama masa rezim Khmer Merah, mereka hendak mewujudkan masyarakat agraris-autarkis. Dalam usaha menjalankan visi tersebut, mereka menghancurkan berbagai lembaga negara yang sudah dibangun pada masa pemerintahan sebelumnya, seperti rumah ibadah, pabrik, hingga sekolah. Di jantung kota Phnom Penh, terdapat bangunan sekolah yang dialihfungsikan menjadi penjara tahanan Khmer Merah yang dikenal dengan nama Tuol Sleng.
Dalam catatan Michael Vickery yang terangkum dalam buku Cambodia, 1975-1982, dijelaskan bahwa bangunan penjara tersebut pada awalnya merupakan sekolah Preah Ponhea Yat High School yang kemudian berubah nama menjadi Tuol Svay Prey. Mereka menamakan Tuol Sleng sebagai Security Prison 21 (S-21), setelah sebelumnya membangun penjara M-13 di provinsi Kampon Speu. Penjara dalam Bangunan Sekolah Pada tahun 1976, Khmer Merah mulai mengoperasikan S-21 di Tuol Sleng untuk mengakomodir tahanan politik. Mereka memasang kawat di sekeliling pagar dinding terluar, dan juga pada pagar teras di setiap lantainya.
Ruang-ruang kelas diubah menjadi sel tahanan dengan menambahkan sekat-sekat di dalamnya. Sebagian besar tahanan di S-21 merupakan orang-orang yang terlibat pada rezim sebelumnya, yakni pada masa Republik Khmer, di antaranya para petugas pemerintahan, tentara, akademisi, guru, dokter, hingga biksu. Mereka pun menahan secara paksa orang-orang terdekat para tahanan untuk mengoptimalkan proses ‘pembersihan’, tidak memandang jenis kelamin dan usia. Percepatan proses penangkapan semakin menambah daftar panjang tahanan di S-21. Tidak ada catatan pasti jumlah tahanan yang pernah dipenjara di tempat ini, tapi diperkirakan mencapai lebih dari 18.000 orang. Mereka ditahan, diinterogasi, disiksa, dan kemudian dikirim ke Choeung Ek, sebuah tanah bekas perkebunan yang menjadi tempat eksekusi mati para tahanan.
Di tempat yang disebut sebagai Ladang Pembantaian tersebut, sering kali mereka diharuskan menggali kuburan sendiri atau kuburan tahanan lain sebelum dieksekusi. Ketika Perang Kamboja-Vietnam pecah, tentara Vietnam melakukan invasi besar-besaran ke Kamboja sejak akhir tahun 1978 untuk melawan Pol Pot. Serangan terus dilakukan hingga ke jantung kota Phnom Penh. Tentara Vietnam menemukan penjara S-21 dan membebaskan tahanan yang tersisa di sana. Serangan yang dilakukan Vietnam membuahkan hasil. Khmer Merah runtuh dan digantikan dengan Republik Rakyat Kamboja di bawah kuasa Vietnam. Namun pada akhirnya negara tersebut gagal untuk mendapatkan pengakuan de jure di markas besar PBB, dan Kamboja kembali kepada sistem monarki di tahun 1993.
Dibuka sebagai Situs Bersejarah Tidak lebih dari setahun sejak jatuhnya rezim Pol Pot, Tuol Sleng dibuka secara umum untuk menunjukkan kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah dilakukan oleh Khmer Merah di masa lalu. Bangunan yang hingga sekarang difungsikan sebagai museum ini, masih mempertahankan bentuknya seperti saat menjadi penjara. Situs Tuol Sleng memiliki empat bangunan utama yang ditandai sebagai gedung A, B, C, dan D. Gedung A terletak di paling depan dekat pintu masuk. Setiap ruangan pada gedung pertama ini merupakan sel-sel berukuran besar, yang sebelumnya merupakan ruangan kelas. Di masing-masing sel terdapat satu buah ranjang besi dan rantai kaki. Para tahanan yang baru dikirim ke S-21 akan difoto dengan nomor urut yang digantungkan di dada.
Setelah itu mereka menjalani proses interogasi dan mendapatkan perlakuan yang kejam di dalam sel yang terdapat di gedung A. Saat awal Tuol Sleng ditemukan oleh Vietman, terdapat jasad korban-korban penyiksaan terakhir yang ditemukan di ruangan ini. Sering kali para tahanan, yang dituduh mengkhianati partai atau revolusi, tidak tahu mengapa mereka ditangkap, tapi mereka dipaksa untuk mengakui “kejahatan” melalui penyiksaan. Setelah menjalani proses interogasi di gedung A, para tahanan dibawa ke sel yang berada di gedung B, C, dan D. Masing-masing bangunan tersebut memiliki 3 lantai, dengan dipagari kawat dan besi. Di dalam setiap ruangan di lantai 1, yang awalnya dibangun sebagai ruangan kelas saat masih menjadi gedung sekolah, terdapat sel-sel kecil berukuran 0,8 x 2 meter yang terbuat dari batu bata dan kayu. Setiap sel kecil ini diisi oleh satu orang tahanan. Sementara lantai 2, ruangan tahanan dibuat dengan ukuran yang lebih besar tanpa sekat dinding. Setiap satu ruangan dapat menampung 40 hingga 50 tahanan. Mereka diikat bersama menggunakan rangkaian batang besi dan diposisikan berlawanan untuk mencegah komunikasi. Para tahanan tidur di lantai tanpa tikar dengan kepadatan dan kondisi sanitasi yang buruk. Hal ini menyebabkan terjadinya penyakit serius dan wabah kutu.
Seluruh tahanan wajib mengikuti aturan yang ketat. Jika ada yang melawan, mereka akan dihukum dengan pukulan dan sengatan listrik. Para tahanan tidak diizinkan berbicara satu sama lain dan tidak pula berteriak kesakitan saat menjalani proses penyiksaan. Setiap tindakan memerlukan izin dari penjaga S-21, seperti duduk, berguling, dan buang air. Kini sel-sel di gedung B telah dibongkar dan diubah menjadi ruangan museum yang menampilkan foto-foto wajah dari ribuan korban di S-21. Mulai dari anak-anak laki-laki dan perempuan, hingga orang-orang dewasa. Dalam foto-foto tersebut, tampak raut wajah mereka memiliki tatapan yang kosong dan putus asa. Sebagian tampak memiliki luka memar di wajahnya. Sama halnya dengan gedung B, sel-sel kecil di gedung D pun dibongkar dan kini menjadi ruangan yang menampilkan alat-alat penyiksaan yang digunakan oleh petugas S-21. Namun hanya sel-sel di gedung C yang dibiarkan apa adanya untuk menampilkan jejak Khmer Merah di situs ini. Yang Selamat dari Eksekusi Mati Dari belasan ribu tahanan yang dipenjara di S-21, hanya ada 12 orang yang selamat dan dibebaskan saat tentara Vietnam berhasil menduduki Phnom Penh pada tahun 1979. Mereka adalah 7 pria dewasa dan 5 orang anak.
Namun ada satu orang anak yang meninggal dunia tak lama setelah dibebaskan. Hingga tahun 2016, tinggal 4 orang yang masih hidup, yakni Chum Mey dan Bou Meng, serta Norng Chanphal dan Norng Chanly yang pada saat keluar dari S-21 masih berusia kanak-kanak. Dua anak lainnya juga diyakini masih hidup, tapi nama mereka tidak diketahui karena dibawa ke panti asuhan setelah rezim Khmer Merah runtuh. Pada hari-hari biasa ketika Museum Genosida Tuol Sleng dibuka, Chum Mey dan Bou Meng sering datang kembali untuk memberikan penuturan kepada publik atas kesaksian mereka sebagai penyitas S-21. Mereka tak pernah menyangka akan selamat dari eksekusi mati Khmer Merah, karena sebelumnya tidak pernah ada tahanan yang bisa keluar dengan selamat. Saat ini di halaman tengah Tuol Sleng terdapat jajaran kuburan beton berbentuk persegi panjang yang melambangkan 14 korban penyiksaan terakhir yang ditemukan di situs ini. Sebuah patung figur manusia yang terbalik ditempatkan pula di tengah halaman sebagai monumen.
Bentuk patung tersebut yang merepresentasikan posisi para tahanan di S-21 yang dahulu ditahan dengan cara digantung terbalik. Halaman itu kini tampak asri dengan pohon-pohon teduh yang harum. Beberapa bangku taman ditempatkan bagi para pengunjung. Tak jarang orang yang datang setelah berkeliling tampak kelu saat duduk di bangku tersebut sambil melihat suasana Tuol Sleng. Mengingat ironi gedung yang meninggalkan sejarah kelam ini pada awalnya merupakan bangunan sekolah yang diisi anak-anak untuk belajar dan bermain pada masa-masa bahagia.