Pada 5 Maret 1942, Residen Yogyakarta Lucien Adams agak setengah hati keluar dari kantornya di Gedung Agung. Apa mau dikata, Lucien hari itu harus meneken perjanjian tukar guling antara Pemerintah Hindia Belanda di Yogyakarta dengan Otoritas Militer Jepang. Sejak hari itu, Yogyakarta sah masuk ke dalam wilayah Kekaisaran Jepang. Di masa yang sama, sejarak beberapa kilo ke selatan dari lokasi itu, hidup seorang raja muda berumur 31 tahun dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sultan Hamengku Buwono IX menyadari situasinya kini dan apa yang tengah dihadapinya sama sekali berbeda ketimbang yang pernah dialami delapan pendahulunya. Taktik macam apa yang sebaiknya dilakukan untuk menghadapi para “saudara tua” ini? Bermula dari selokan Bagi orang Yogyakarta, Hamengku Buwono IX memiliki asosiasi yang erat dengan Selokan Mataram.
Selokan yang dimaksud ini–atau mungkin lebih tepat disebut kanal–didirikan oleh sang Sultan pada periode pertengahan Pendudukan Jepang. Pembangunannya memakan waktu sekira setahun, antara 20 Juli 1944 hingga 5 Juli 1945. Pembangunan proyek hidrologi itu digawangi oleh Ir. Hiromitsu dari pihak Jepang dan Ir. K.R.T. Martonegoro dari pihak Yogyakarta. Proyek Selokan Mataram atau yang oleh orang Jepang disebut Kanal Yoshihiro ini bukan proyek main-main. Kanal ini benar-benar membelah dataran Mataram, melintang dari barat ke timur. Titik pemberangkatan air di barat bermula di Desa Karangtalun, Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang, dan berakhir di timur, tepatnya di Desa Tamanmartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman. Total panjang struktur Selokan Mataram mencapai 34,5 km, dengan lebar antara 4 sampai 18 m.
Selokan Mataram juga dilengkapi dengan saluran tersier yang menghubungkan saluran pusat ke area persawahan di sekitarnya. Uniknya lagi, Selokan Mataram merupakan kanal pertama buatan orang Indonesia yang mampu “menyebrangi” sungai-sungai yang dilintasinya. Itu berkat penerapan teknologi akuaduk atau jembatan air dalam pembangunannya. Sampai saat ini, terdapat 27 jembatan air yang masih bisa dijumpai di Selokan Mataram. Bukan saja mengalirkan air di atas sungai, 5 di antaranya bahkan ada yang melintas di bawah sungai. Mengapa Sultan Hamengku Buwono IX berani mencanangkan megaproyek semacam ini di masa Pendudukan Jepang yang sulit? M. Roem dkk. dalam Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. (2011) menyebut Sultan Hamengku Buwono IX menyodorkan proyek ini kepada Pemerintah Pendudukan Jepang sebagai tanggapan atas keresahan mereka atas daya produktivitas pangan Yogyakarta yang rendah. Sementara itu, S.S. Lienan dalam Yogyakarta pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945 (1976) menyebut pendirian Selokan Mataram erat kaitannya dengan siasat Sultan Hamengku Buwono IX untuk menghindarkan warga Yogyakarta dari tuntutan romusha (kerja paksa).
Teori ini dikuatkan dengan kesaksian sang Sultan kepada M. Roem dan kaitannya dengan kunjungan Sultan ke Jawa Barat medio Mei 1944. Kunjungan yang diiringi oleh Adipati Paku Alam VIII, B.P.H. Hardjonegoro, K.P.H. Soerrjaningprang, K.P.H. Nototaruno, dan K.R.T. Notonegoro ini seakan membuka mata Sultan akan kekejaman Jepang dalam praktek romusha. Sultan menyaksikan sendiri penderitaan orang Jawa Barat yang dipaksa bekerja di beberapa tambang belerang.